Apa dan mengapa coaching?

Coaching adalah kemitraan antara klien (Anda) dan coach melalui proses yang kreatif, menggugah pemikiran, dan menginspirasi Anda untuk memaksimalkan potensi personal dan profesional (definisi ICF). Dalam dunia kerja yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, memiliki seorang coach tentunya akan sangat membantu kita untuk terus tumbuh, berkembang, dan sukses.

Mengapa?

Karena seorang coach dapat membantu Anda mengenali blind-spot, membantu Anda mencapai tujuan, membuat Anda berkomitmen atas tujuan Anda dan yang paling penting, coach membantu kita menjadi diri kita yang lebih baik.

Coaching didasari keyakinan bahwa Anda dapat menciptakan kondisi-kondisi yang dapat mendukung tercapainya tujuan dan kesuksesan Anda. Fokus coaching adalah mengeluarkan yang terbaik dalam diri Anda.

Coaching tak lain dan tak bukan adalah sebuah proses perubahan untuk pertumbuhan, rangkaian kemajuan untuk hidup yang lebih bermakna.

Coaching membantu Anda berpindah dari kondisi ‘stuck’ atau penuh ‘duri’ ke kondisi atau tempat yang lebih baik, dengan cara mengajak Anda untuk memahami perspektif, keyakinan, skill, motivasi, atau sikap Anda sendiri sehingga mampu menemukan solusi Anda sendiri dan menjalankan solusi tersebut dengan penuh kesadaran dan komitmen.

Untuk itulah proses coaching menuntut seorang coach untuk mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat yang dapat mengungkit kesadaran Anda sehingga memunculkan ‘a-ha’ dalam diri Anda. Relasi antara Anda dan coach adalah relasi kuat yang didasari sifat hakiki manusia, yakni kasih sayang.

Coach profesional menghormati dan menghargai Anda selaku pemilik dan pemegang kendali penuh atas hidup Anda. Anda adalah expert atas diri Anda sendiri. Coach profesional meyakini bahwa setiap orang memiliki kreatifitas, kepandaian, dan keunikannya sebagai individu dan mampu menjalani hidupnya dengan independen.

Fungsi seorang coach membantu Anda menyadari kekuatan diri sendiri dan memastikan bahwa Anda memiliki pemahaman, pengetahuan, dan motivasi untuk sukses dan mencapai tujuan Anda dengan lebih efektif.
Bagaimana mengetahui keberhasilan proses coaching?

Keberhasilan coaching dapat diketahui dari bagaimana Anda secara dramatis meningkatkan pandangan Anda terhadap pekerjaan dan kehidupan Anda sendiri, sekaligus juga meningkatkan keahlian memimpin diri sendiri dan membuka potensi diri Anda. Inilah manfaat sesungguhnya coaching.

Manfaat lainnya:
• belajar menyelesaikan masalah sendiri dan menjadi akuntabel.
• belajar menemukan diri sendiri.
• belajar menerima tanggung jawab dan berkomitmen.
• belajar mengembangkan adaptabilitas yang lebih tinggi terhadap perubahan.
• belajar membangun hubungan interpersonal yang membawa dampak positif.
• belajar mencapai tujuan dengan lebih efektif

Jika saat ini Anda sedang ‘stuck’ atau gamang dengan karir atau kehidupan profesional Anda, mungkin ini saatnya Anda bekerjasama dengan coach.

Sukses!

*ICF = International Coach Federation (www.coachfederation.org)

Mengapa rasa kepemilikan penting dikembangkan dalam organisasi?

Dunia telah berubah sedemikian pesat.  Memakai bahasa matematika, perubahan yang terjadi mungkin mengikuti deret ukur bukan lagi deret hitung karena demikian cepatnya berubah, bahkan mungkin membentuk suatu deret baru yang belum diketahui karena perubahan yang terjadi kadangkala tidak mudah dipahami.

Akselerasi yang sedemikian cepat, membuat organisasi perlu beradaptasi dan mengantisipasi dengan segera terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dunia.

Di dunia bisnis, kondisi ini diistilahkan dengan nama VUCA (Volatile, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Banyak hal yang terjadi di dunia saat ini bergerak secara volatil (naik dan turun secara tajam), tidak dapat dipastikan bagaimana dan kenapa hal tersebut terjadi, bersifat kompleks karena melibatkan banyak sekali unsur yang didalamnya  saling kait-mengait, dan seringkali tidak mudah diprediksi, bersifat membingungkan (ambigu).

Dalam kondisi seperti ini, organisasi tidak dapat menyandarkan diri sebagai organisasi itu sendiri yang merupakan kumpulan orang yang digerakkan untuk mencapai suatu tujuan, tetapi organisasi harus sudah menjadi kumpulan individu yang menggerakkan  diri secara bersama-sama karena suatu  keyakinan bersama guna mencapai tujuan penting.

Peran aktif individu-individu inilah yang menjadikan organisasi sebuah ‘living entity’ dan bukan sekedar ‘living machine’.  Organisasi seperti ini, yang orang-orangnya mau dan mampu mengambil peran aktif yang akan berhasil menjawab tantangan dunia bisnis saat ini.

Untuk organisasi dapat berkinerja unggul saat ini, maka penting untuk mendapatkan karyawan yang sukarela terlibat aktif dan bergerak tanpa harus diinstruksikan, berorientasi masa depan, mau memberikan saran-saran perbaikan, dan mengambil inisiatif merupakan suatu keniscayaan (Thomas, Whitman, & Viswesvaran, 2010; Crant, 2000; Chan, 2006). Inisiatif personal dan perilaku proaktif adalah kunci keunggulan kompetitif dan kesuksesan organisasi (Crant, 2000).

Di masa depan, diprediksi organisasi semakin membutuhkan karyawan dengan perilaku-perilaku proaktif (Fuller, Barnett, Relyea, & Frey, 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa perilaku-perilaku sukarela yang berorientasi perubahan diyakini dapat menjawab lingkungan bisnis yang dinamis dan terus berubah serta meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan (Podsakoff, Whiting, Podsakoff, & Blume, 2009; Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006; MacKenzie, Podsakoff, & Podsakoff, 2011).

Salah satu tipe perilaku proaktif adalah taking charge (yakni, perilaku melibatkan diri secara aktif melalui upaya-upaya konstruktif dan sukarela yang berdampak pada perbaikan/peningkatan fungsi pekerjaan di organisasi). Perilaku keterlibatan aktif ini tidak muncul begitu saja dari diri karyawan, di sisi lain perusahaan juga tidak bisa ‘memaksakan’ karyawan untuk melibatkan diri secara aktif, karena sepanjang pekerjaan –yang didasarkan pada job description– telah terselesaikan, maka artinya secara kontraktual, karyawan telah menuntaskan pekerjaannya.

Sifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan dari perilaku keterlibatan aktif, menjadikan kesadaran karyawan adalah kunci guna memahami perilaku ini. Artinya, saat karyawan melakukan tindakan secara sukarela untuk kepentingan bersama, pasti ada dorongan internal yang membuat karyawan mau melakukan perilaku tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa dorongan ini berasal dari rasa tanggung jawab (Moon, dkk, 2008; Choi, 2007), akan tetapi semata-mata memberikan tanggung jawab kepada karyawan tidak berarti karyawan akan bertanggung jawab (Cummings & Anton, 1990).  Dengan kata lain, ada atribut yang lebih mampu menjelaskan bagaimana tanggung jawab ini terinternalisasi dalam diri karyawan dan bukan sekedar tanggung jawab karena ‘paksaan’ dari luar (misal, menyelesaikan pekerjaan karena sudah terikat kontrak).

Apakah itu? psychological ownership (kepemilikan psikologis) terbukti dapat mendorong terciptanya rasa tanggung jawab dari dalam diri (Pierce, dkk., 2001, 2003). Individu yang merasakan kepemilikan atas sebuah obyek akan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, mempertahankan, dan mengembangkan apa yang menjadi miliknya tersebut (Belk, 1988; Furby, 1978). Hal ini dapat dianalogikan antara Anda dan anak Anda. ‘Rasa kepemilikan’ Anda terhadap sang anak membuat Anda ingin menjaga, melindungi, dan menumbuh-kembangkannya dengan sebaik mungkin.

Demikian juga rasa kepemilikan pekerjaan akan membuat Anda berupaya untuk melakukan hal-hal terbaik untuk pekerjaan Anda. Individu dengan kepemilikan psikologis yang tinggi akan mencurahkan kepedulian dan perhatian yang lebih besar terhadap obyek kepemilikannya (Belk, 1988; Beggan, 1992).

Selanjutnya rasa tanggung jawab yang terbangun dari rasa kepemilikan ini mendorong individu melakukan usaha-usaha ekstra yang bersifat sukarela, yakni terlibat aktif untuk kemajuan pekerjaan/organisasi tempatnya bekerja (Dirks, Cummings, & Pierce, 1996; Pierce, dkk., 2003; Pierce & Jussila, 2011). Sejauh ini telah banyak penelitian yang mendukung hubungan positif antara kepemilikan psikologis dan perilaku keterlibatan aktif (misal, Van Dyne & Pierce, 2004; Vandewalle, Van Dyne, & Kostova, 1995; O’Driscoll, dkk., 2006)

Penelitian terkait rasa kepemilikan dalam organisasi merupakan riset yang masih baru.  Konstruk kepemilikan psikologis sendiri baru muncul tahun 1991 dipelopori oleh Prof. Jon L. Pierce dari Amerika (Pierce, dkk., 1991). Rasa kepemilikan adalah sifat natural dari fungsi manusia, merupakan bawaan dalam diri individu (McDougall, 1908/1923 dalam Pierce, dkk., 2001). Penelitian memperlihatkan bahwa rasa kepemilikan telah muncul sejak tahap awal masa kanak-kanak (Kanngiesser, Gjersoe, & Hood, 2010).

Sayangnya, peran penting rasa kepemilikan ini belum banyak disadari oleh pemimpin-pemimpin organisasi (Adair, 2008; Avolio & Reichard, 2008). Mungkin ini saat yang tepat bagi Anda untuk mengusulkan pada top manajemen agar mulai membangun rasa kepemilikan karyawan terhadap pekerjaan maupun organisasi. Mengapa tidak? 🙂

Our Partner